Sunday, July 22, 2018

#1

I'm afraid.
I'm afraid of your silence.
I'm afraid of you counting up.
I'm afraid of you keeping things I don't know.
I'm afraid.

Friday, January 13, 2017

Hening

Dua belas dua belas
Telinga berdengung
Angin semilir
Lampu meredup
Langit menutup
Air menetes pelan
Manusia terlelap

Alam hening
Tak ada rasa mengambang
Semua diam
Mengubah rasa dalam mimpi
Kesadaran bersandar

Mataku tak terpejam
Pikiran tak tertahankan
Perasaan meracau bimbang
Suara dengung mengingatkan
Matahari belum datang

Wednesday, April 20, 2016

Takdir

Tulisan ini bukanlah propaganda, namun hanyalah tuangan pikiran belaka.

"Semua hal di dunia ini telah ditentukan."

"Benarkah seperti itu?"

"Benar. Itulah yang namanya takdir."

Namun apakah benar seperti itu? Apakah setiap langkah kita sudah ditentukan? Apakah pekerjaan kita kelak atau jadi apa kita kelak sudah dipastikan? Benarkah hidup kita sudah pasti?

Pikiran ini muncul setelah kecelakaan yang menyebabkan tulang lengan kiri saya patah. Setelah kejadian itu, saya mulai berpikir. Pikiran awal saya sederhana, 'Apakah yang telah saya lakukan tepat?' Lalu saya mulai mengkilas balik kejadian-kejadian sebelum saya kecelakaan. Setelah mengkilas balik, saya mulai menyesali dan berpikir 'Hal ini tak seharusnya terjadi.'

Namun, beberapa lama kemudian, bayangan kecelakaan itu mulai menghantui saya. 'Seharusnya tak terjadi, seharusnya tak terjadi, seharusnya tak terjadi.....' Itulah kata-kata yang terus memenuhi kepala saya. Akhirnya saya bercerita kepada salah satu teman. Ia menenangkan saya dan berkata, "Tidak apa-apa, kamu segeralah bangkit. Itu sudah takdirmu. Mungkin jalanmu memang sedikit terjal, tapi tak mengapa."

Saya mulai tenang menghadapi kenangan buruk mengenai kecelakaan itu. Saya mulai merasa biasa jika kenangan tersebut muncul, karena saya belajar untuk mengendalikan emosi saya ketika kenangan tersebut muncul. Tapi saya mulai berpikir, apakah benar kecelakaan itu adalah jalan saya?
Suatu ketika saya melihat beberapa animasi Jepang. Saya terkagum dengan kegigihan tokoh-tokoh utama yang berjuang meraih impiannya. Seakan-akan, mereka memang ditakdirkan untuk meraih impian mereka... Tapi, tunggu dulu. Cerita mereka memang ditulis untuk meraih impian mereka oleh penulisnya. 'Takdir' mereka sudah dituliskan dan telah dijadikan naskah. Lalu bagaimana dengan kita, manusia?

Saya sering mendengar dan membaca cerita beberapa tokoh besar dunia yang merubah hidupnya menjadi lebih baik menurut dasar manusia. Beberapa dari mereka dicap 'ditakdirkan untuk meraih apa yang telah mereka raih.' Namun cerita dibalik kesuksesan mereka selalu diiringi usaha yang benar-benar keras. Bahkan terkadang kisah sukses mereka tak lepas dari 'pertemuan dengan orang yang ditakdirkan membuat mereka sukses.' Bagaimana jika mereka tidak berusaha? Bagaimana jika orang yang 'ditakdirkan' bertemu dengan mereka tak pernah berkenalan dengan mereka? Apakah mereka akan sesukses sekarang? Apakah mereka akan menjadi apa mereka sekarang?

Jika jalan semua orang memang sudah ditentukan, lalu bagaimana dengan orang-orang yang mati atas kejahatan yang mereka perbuat? Bagaimana dengan orang-orang yang dikenal dalam buku sejara sebagai penjahat legendaris? Bagaimana dengan orang-orang yang tak pernah berhasil dalam hidup mereka? Apakah mereka ditakdirkan seperti itu?

Apakah 'A' menjadi 'A' karena takdirnya? Bukankan 'A' bisa menjadi 'B' atau 'C' atau '3.14' atau apapun yang ia mau? Bukankah manusia memiliki kehendak bebas? Apakah kehendak bebas itu 'ditakdirkan' dimiliki manusia? Bukankah dengan kehendak bebas, manusia bisa 'melawan' takdir mereka sendiri? Lalu apakah orang yang melawan takdir, ditakdirkan untuk melakukannya? Membingungkan.

Terlepas apa yang akan terjadi di masa mendatang, saya lebih mempercayai satu hal. Manusia menjadi manusia karena mereka memilih menjadi manusia. Apa yang akan terjadi pada diri kita kelak tidak akan dapat kita pastikan. Tapi kelak, kita akan menjadi manusia yang telah kita pilih, meskipun tidak setiap pilihan kita adalah kemauan kita.

Monday, January 11, 2016

Penyesalan

"Kenapa dulu kulakukan?"

"Seharusnya dulu tidak kulakukan!"

"Kenapa yang terjadi seperti ini?"

Kalimat yang lumrah muncul ketika hal-hal tidak berjalan sesuai rancangan, selalu muncul di akhir.
Tidak ada hal yang mampu meramalkan apakah kita akan menyesal atau tidak, karena walaupun itu hal baik sekalipun, tetap mengandung penyesalan.
Tapi kenapa kita menyesal? Bukankah setiap hal di dunia ini sudah berjalan semestinya? Apakah ego melawan apa yang sudah tertulis dalam lini masa kehidupan?
Begitu sombongnya kita menyesal, seakan-akan kita memang mampu mengubah apa bagaimana kehidupan ini bekerja.

Ragu

Di ambang keputusan, tiba-tiba berhenti.
Tak terjelaskan, namun tiba-tiba mulai berpikir kembali. Mengingat-ingat, menimbang-nimbang, merasa tangguh, merasa rapuh. Tak kusangka, aku ragu.
Di saat semua yang selama ini diperjuangkan, selama ini diimpikan, selama ini dipercaya sebagai jalan di masa depan, terbersit rasa untuk tak percaya. Semua yang perlu dilakukan, hanya tinggal dilakukan, namun muncul getar yang menolak melakukan. Takut apa yang selama ini dipercaya, akhirnya malah terbuang sia-sia.
Atau sebenarnya, apa yang diharapkan memang tidak meyakinkan? Atau apa yang diimpikan memang tidak memberikan jaminan? Mungkinkah masih ada kesalahan? Kenapa aku ragu? Mengapa harus merasa ragu? Haruskah aku merancang kembali? Adakah yang harus kulalui? Mungkinkah memang bukan ini? Ataukah hanya terlalu berhati-hati?
Memang tidak ada yang pasti. Ketika ragu datang, tak ada yang pasti. Namun sebenarnya, ragu itu datang karena kita belum bertemu siapa diri kita sebenarnya.

Saturday, January 2, 2016

Pilihan

"Hidup ini adalah pilihan"

Ya memang. hidup ini hanyalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai pilihan. Kita dihadapkan dengan berbagai pilihan yang akan menghasilkan jalan cerita dalam kehidupan kita sendiri. Tidak ada yang bukan pilihan di dunia ini. Jika lapar lalu makan, itu sebuah pilihan, meskipun memang sudah seharusnya, karena jika lapar, kita bisa saja malah berdoa, sebab kita sedang berpuasa. Ya begitulah pilihan, tidak ada batasan dalam pilihan dan sudah seharusnya tidak ada batasan untuk memilih.

Tapi, kita seringkali dihadapkan pada pilihan sulit, meskipun sebenarnya sulit mudahnya suatu hal hanyalah subjektifitas semata. Manusia dasarnya ingin bahagia, maka mereka pasti memilih hal yang akan membuat mereka bahagia, tanpa memikirkan berapa lama mereka akan merasakan itu. Sebenarnya tidak menutup kemungkinan manusia memilih pilihan yang sulit, supaya manusia lain yang ia anggap berharga, merasa bahagia. Pilihan-piliha yang sulit ini pada akhirnya hanya memperjelas sifat dari manusia itu sendiri. Siapa yang ingin dibahagiakan? Diri sendiri atau manusia lain? Tapi meskipun tidak seimbang dari segi ego, sesungguhnya tidak pernah ada pilihan yang sebanding. Pilihan yang sulit dapat membuat kita belajar bahwa dunia ini tidak stagnan, namun dinamis. Bisa saja kita dihadapkan pada pilihan yang sama dalam dua waktu berbeda dan pilihan kita berbeda, karena keadaan.

Pilihan akan datang seiring dengan perubahan keadaan. Setiap detik dalam hidup ini selalu dipenuhi dengan pilihan. Lebih banyak pilihan yang kita tidak sadari, karena pilihan itu adalah hal-hal sepele. Namun seringkali hal-hal sepele inilah yang membawa kita ke tempat yang tidak pernah kita bayangkan.

Berhati-hatilah dalam memilih. Sebuah pilihan harus didasari masa lalu, masa kini dan masa depan. Sebuah pilihan akan menentukan bagaimana kita mendalami masa lalu, menjalani masa kini dan mengharapkan masa depan.

Jadi hidup itu adalah pilihan. Kita yang hidup, kita yang memilih, kita yang menjalani. Selamat memilih.

Sunday, October 25, 2015

Rumah


"I'm coming home, baby!" Sebuah kalimat yang diucapkan penuh keyakinan dan kebahagiaan, bagaikan pergi ke sebuah tempat penuh harta karun. Rumah bagaikan sebuah istana, apalagi ditambah penuh harta karun, rumah jadi seperti istana harta karun yang seakan menjanjikan kebahagiaan tiada duanya. Bagi para perantau yang mengadu nasib, rumah seakan menjadi tujuan akhir mereka, rumah adalah alasan mereka berjuang selama ini, entah yang sudah punya, atau yang belum punya rumah. Tapi rasanya, rumah hanya dipandang fisik sebuah bangunan. Rumah adalah kumpulan batu bata, pasir, semen, kayu, besi, tanah liat, batu, cairan yang dibentuk sedemikian rupa membentuk sebuah bangunan yang dapat digunakan untuk berteduh. Tapi banyak orang yang sedang tiduran diatas kasur lembut atau sofa mereka berkata dalam hati, "I miss home." Seakan apa yang mereka tempati saat itu hanyalah sebuah area pembuangan, dimana langit menjadi atap, dan tanah adalah lantainya. Muncullah beberapa pertanyaan. Apa itu rumah? Apakah rumah itu nyata? Apakah rumah itu abadi selamanya?
Sebuah kasur yang empuk dan lembut, takkan membuatmu lelap dengan senyum. Gantungan lampu mewah takkan membuatmu melihat keatas penuh keyakinan. Sebuah kamar yang luas dan nyaman takkan membuatmu ingin berlarian dan melompat kegirangan. Memiliki rumah yang nyaman takkan membuatmu berpikir, "dengan ini semua, aku akan hidup selamanya." Apalagi kalau hidup disana sendirian. 
Di suatu desa kecil, di sebuah gubuk kecil yang tak nyaman, ada seorang laki-laki berkata pada istri dan anaknya, "aku bahagia walaupun tak punya rumah mewah, karena hal termewah dalam hidupku adalah kalian." Di sebuah barak tentara yang dingin, ada seorang marinir berkata pada bawahannya, "tak masalah besok kita akan mati, karena nantinya, kita akan dikubur berdampingan. Aku tak masalah mati demi kalian, karena melihat kalian hidup adalah kebahagiaanku." Rasanya tidak penting memiliki rumah yang mewah, karena rumah adalah dimana kita merasa nyaman dengan orang-orang disekitar kita. Rumah adalah tempat dimana kita diterima disana.